Kamis, Juni 22, 2006

Turut Berduka Atas Korban UAN



Akhir2 ini saya sangat terusik dengan pemberitaan seputar UAN, terutama UAN tingkat SMA. Sedih dan heran aja dengan yang namanya UAN.. Pelaksanaannya cuma tiga hari namun seakan menjadi penentu keseluruhan sisa usia seseorang.. Anehnya walaupun banyak yang menentang, para pejabat Depdiknas tetap saja ngotot melaksanakannya. Takut kehilangan proyek Pak???

=========
Hari ini lagi-lagi saya membaca efek menyedihkan UAN dari detik.com. Dikabarkan di Kalimantan ada seorang siswa yang bunuh diri karena gagal lulus UAN. Di Jakarta 4 orang siswa mencoba bunuh diri. Banyak kasus siswa stress karena gagal lulus UAN. Itu baru yang ketahuan... Yang tidak?? Gak tau deh.. Jangan-jangan bahkan ada yang gantung diri di pohon belakang rumah anda dan belum ketahuan?? Memang gak bener juga sih meluapkan emosi dengan merusak diri sendiri.. Tapi emang musibah yang mereka hadapi gak bisa dianggap enteng.. Tapi lagi2 bukan dengan demikian meresponnya..

Hehehe.. dari namanya aja udah aneh: "Ujian Akhir Nasional". Padahal ALLAH kan udah ngasih tau bahwa ujian itu never ending.. Gak ada matinya, gak ada selesainya.. Tapi kok ini melawan kodrat ALLAH?? Tapi itu intermezzo doang. Ada beberapa hal yang saya anggap gak bener dari UAN ini.


1. Penentu berlanjutnya pendidikan seseorang
Kini UAN seakan menjadi penentu berlanjutnya/terhentinya karir menimba "ilmu formal" seorang siswa SMA. Bahasa kasarnya, kalau lulus hidup lo terus, kalau kagak lulus mati aja lo! Padahal hak menuntut ilmu, termasuk ilmu dari Perguruan Tinggi (yang notabene baru bisa diraih bila telah lulus UAN) itu adalah hak setiap orang. Gak ada yang boleh ngelarang. Ilmu itu milik ALLAH !!


2. UAN untuk tolak ukur keberhasilan belajar
Bayangkan sodara-sodara, event tiga hari itu oleh Depdiknas dianggap sebagai tolak ukur keberhasilan belajar siswa selama tiga taon. Padahal tau gak, yang diujikan tuh cuma 3 pelajaran doang: Bhs Inggris, Indonesia, dan Matematika. Bagaimana mungkin itu bisa dijadikan tolak ukur?? Mikir atuh dek... Lagian seperti yang udah kita ketahui bersama, kecerdasan orang tuh gak bisa dibatasi/dicapture dengan bidang yang sempit seperti itu. Ada orang yang pintar dalam bidang menghitung, ada yang pintar bidang humaniora/bahasa, ada yang di bidang olahraga, bidang seni, bidang lain-lain.... Jadi bisa dibilang UAN itu diskriminatif karena hanya memfasilitasi mereka yang pandai dalam hal humaniora/bahasa dan menghitung, yang lainnya? Tambah lagi, dengan UAN yang diposisikan sebagai tolak ukur keberhasilan belajar siswa, berarti Depdiknas melakukan ketidakkonsistenan dan menjurus kepada pembodohan. Sebagi informasi, mereka kini sedang menggembar-gemborkan kurikulum bernama KBK, yang menyatakan konsep penilaian seorang siswa berdasarkan pada tiga aspek: Kognitif , afektif, dan psikomotorik. Nah tenyata apliaksinya? Mereka hanya mementingkan aspek kognitif (lewat soal-soal UAN) sebagai "penilaian akhir" siswa. Ibarat peribahasa: bak menelan ludah sendiri.. Berarti juga sebenarnya mereka melakukan pembodohan dengan memaksa membebani siswa dengan aspek selain aspek kognitif, yang sebenarnya itu tidak akan dipertanyakan/diuji...


3. UAN sebagai standardisasi belajar nasional
Ini yang paling lucu, gimana mungkin UAN di Jakarta dan daerah pedalaman disamakan?? Mikir lagi atuh dek... Jakarta tuh kota Megapolitan... Kalau soal untuk Jakarta dikasih ke desa terpencil, pasti mereka pada Empot-empotan (kesulitan). Pejabat: "Lho salah mereka tidak mengadakan proses pendidikan dengan baik.". Sukma:"Lah itu mah salah anda. Emang anda sudah membantu menyediakan fasilitas apa di desa? Anda sudah memberi guru pedesaan pelatihan apa? Bagaimana kesejahteraan pegawai sekolah? Berapa buku yang anda sumbangkan ke sekolah pedesaan?". Belum lagi perlakuan yang sama terhadap daerah-daerah bencana. Ya jelas mereka tidak bisa maksimal dalam mengerjakan soal-soal. Otak mereka tuh lagi penuh dengan pikiran gimana caranya besok bisa makan, bagaimana bisa punya tempat tinggal lagi, bahkan mungkin ada yang mikir bagaimana caranya dapetin pensil 2B buat ujian..


Saran saya sih gak usahlah ada test yang bersifat mendiskreditkan dan membatasi hak berpendidikan seseorang.. Kasihan.. Kalaupun tetap mau ada test untuk evaluasi pendidikan silakan saja, itu saya dukung habis.. Yang pasti jangan sampai ada test yang bersifat semacam UAN sekarang. OK Boss??

4 komentar:

Anonim mengatakan...

hmmm... HIDUP UAN!!! loh..
pendapat yang bagus dari situ
Gimana kalo namanya UTN (Ujian Terusan Nasional) karena walo nilai jelek, hidup masih bisa terus.. tapi jadi inget kereta,,, 'karcis terusan' alah

Hidayat Febiansyah mengatakan...

Bagaimana juga ya ma, kalo kita gak make standar yang sifatnya nasional, nanti kita akan sulit untuk menentukan kualitas dari lulusan di masing-masing sekolah.

Ada kasus di sekolah dulu temen ane satu kos. Ada anak guru yang baru kemaren ikut UAN, nah di sana dia gak lulus, karena matematikanya dapet nilai 4. Padahal anehnya dia itu udah dapet PMDK di Universitas Erlangga, kan aneh jadinya...

Nah yang tersebar itu gosip kalo nilai si anak itu tuh dikatrol ama guru-gurunya biar bagusan. Kasus ini pernah muncul kok di TV.

Bagaimana pula itu jadinya. Kalo menurut ane sih, mending kita usahakan supaya kualitas pendidikan di setiap skolah di seluruh indonesia itu diusahakan seragam. Memang butuh usaha yang lebih sih, tapi kualitas dan harapan akan kesetaraan akan lebih terjamin.

Sukma Mahendra mengatakan...

Saya sangat setuju adanya standardisasi nasional. Yang saya tak setuju UAN dijadikan algojo penentu keberlangsungan pendidikan formal.. Gitu Feb..

deasy_pazariboe mengatakan...

ya.. emang benner kalo suatu negara mengukur grade pendidikan dengan bikin standar nasional, dan gak salah kalo pemerintah ngasih grade yang tiap tahun naik 0.25, menyusul develop country lainnya. Tapi apakah taraf pendidikan di dalam negeri sudah bagus banget???

Boleh aja sih kita ikutan ama negara lain kayak Singapur, Ausie, or even Europe country. Tapi ingat kalo disana tuh gak ada skolahan yang atapnya dari rumbia dan bocor pula, bangunan yang mow roboh, atau yang kebanjiran and siswanya disuruh belajar di rumah.

Konklusinya, aku stuju dengan adanya UAN tapi standarnya disesuaikan dengan sejauh mana pemerintah sudah memajukan pendidikan dari segala sisi.

VIVAT ACADEMIA VIVAT PROFESSORES
MAJULAH PENDIDIKAN INDONESIA